Kuliah Pancasila: Pertemuan ke-9 "Pancasila sebagai Sistem Filsafat (1)"



Senin, 15 Mei 2017









When I was in Senior High School I remembered one of my teacher who studied theology said that one of the the most difficult thing was when he studied the philoshopy of the word of "existences"




Hari ini, sebelum saya akan mempelajari Pancasila sebagai Sistem Filsafat, Pak Rahman akan menjelaskan makna dari "filsafat" itu sendiri. Termasuk dengan butiran hakikat kata "ada" yang disampaikan Pak Rahman, mengutip Descartes dan Socrates.







Descartes berkata bahwa "Saya ada karena Saya berpikir."


Hasil pemikiran manusia sebagai bukti dari eksistensi manusia itu sendiri, kurang lebih itulah yang saya tangkap dari pernyataan Descartes.



Sementara Socrates berkata "Sesuatu ada karena memiliki substansi" atau substansialisasi benda.

Pemikiran Socrates bahwa sesuatu yang memiliki inti; isi; tujuan; menyebabkan hal tersebut "ada".

Bila terjadi begitu saja, tanpa adanya suatu makna, hal tersebut dapat dikatakan "tidak ada".



Setelah sedikit pengantar akan pemikiran para ahli mengenai "makna" atau "dasar" dari kehidupan, tidak saya sangka-sangka, Pak Rahman mengganti topik pembahasan. Beliau berusaha memanaskan suasana di kelas dengan pernyataan:




Tuhan itu tidak ada, manusia yang menciptakan Tuhan dalam pikirannya.

Dan bila Tuhan ada, mengapa Tuhan memberikan banyak sekali cobaan dan penderitaan kepada makhluknya?

.

.

.

.

Pak Rahman saat itu memercikan 'api' di kelas agar melatih mahasiswa berargumentasi dan menyatakan pendapat yang ada di dalam dirinya.

Pada saat itu saya merasa tidak berani untuk berargumen dengan Pak Rahman, meskipun beberapa mahasiswa melakukannya. Pak Rahman merasa bahwa kelas kami tidak cukup argumentatif. Karena kurangnya kemampuan argumentasi mahasiswa, Pak Rahman memilih untuk menjelaskan materi saja. Beliau kembali menjelaskan sedikit pengantar sebelum sampai inti dari pembahasan tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Beliau tidak lupa pula untuk mengingatkan mahasiswa untuk menulis di blog masing-masing mengenai tiap pertemuan pada perkuliahan Pancasila. Rangkuman pertemuan tersebut, alangkah baiknya bila ditambahkan tanggapan mahasiswa sendiri mengenai materi pertemuan saat itu,




Oleh karena itu, kali ini saya akan menuliskan opini saya. Dan sebagai jawaban pada pertanyaan Pak Rahman:

Tertera di Al-Qur'an bahwa manusia diciptakan Allah SWT adalah salah satunya untuk diuji dan di'pantaskan' oleh Allah sebelum dapat menerima ganjaran di akhirat yang lebih baik.




"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?"




[ Al-Ankabut:2 ]




Sebagai seorang muslim, ayat di atas rasanya cukup untuk menjadi jawaban atas pertanyaan Pak Rahman. Hanya 1 ayat yang namun dapat mewakilkan pertanyaan tersebut.




Berikut sedikit opini saya mengenai orang yang mencemooh pemeluk agama dan menyatakan bahwa agama adalah penyebab irasionalitas. Coba deh, baca sedikit lirik lagu di bawah ini:







Is your god really God?

Is my god really God?

I think our god isn't God,

If he fits inside our heads.

(http://www.plyrics.com/lyrics/ascitiesburn/clouds.html)




Apakah ada bukti eksak mengenai Tuhan? Kayaknya nggak, ya--bahkan agama Islam tidak pernah menggambarkan Allah sama sekali (naudzubillah).

Kalau begitu, bukankah pemikiran mengenai Tuhan terdengar berlebihan dan irasional?




Ya, memang. Dan sudah seharusnya seperti itu.




Tidak ada yang perlu dipertanyakan kepada seorang pemeluk agama. Rasional maupun irasional, hakikat dari "kepercayaan" adalah suatu yang tidak dapat dibantahkan oleh para pemeluk agama; karena "kepercayaan" itu adadi dalam hati mereka,




Lalu, bila agama sebagai penyebab irasionalitas, Saya mau tanya balik: irasionalitas di mata siapa?

Dan apakah manusia dapat me-tidakrasionalitas-kan pemikiran sebesar pemikiran Tuhan?

Padahal, rasionalitas sendiri pun hanya hasil dari buah pemikiran manusia.







Ketika SMA saya memiliki teman yang seorang atheis; beliau sempat menanyakan saya kenapa saya memeluk agama (islam). Saya jawab dengan alasan singkat "Iman" atau "percaya".

Beliau terdiam dan tidak mengutarakan apapun.

Sebenarnya kepercayaan itu lahir dari apa, sih?




Prasangka dan pandangan.




Pandangan dilahirkan ole pengelihatan; yang berdampak pada pemikiran.

Pandangan dapat lahir dari melihat dengan mata kita akan peristiwa yang benar-benar terjadi.

Namun, pandangan saja tanpa pengertian juga tidak cukup. Kita tidak bisa melihat sesuatu sambil menutup telinga kita. Kita juga harus mendengar, sehingga bukan hanya melihat, namun kita juga dapat mengerti apa yang terjadi.

Intinya, pengelihatan manusia bahkan tak terlepas dari kekurangan.

Bagaimana dengan prasangka?

Sama saja. Prasangka juga memiliki kekurangan dan kelebihan.




Kita tidak bisa menyalahkan seseorang yang mempercayai sesuatu karena pandangan dan prasangkanya.

and,

So who am I, who are you to judge the believers, and the one who dont?







-------------------------------------------------------------------------------------------------




Di atas hanyalah sedikit pandangan saya yang tentunya memiliki kekurangan.




Pak Rahman menyatakan,

"

Manusia ingin menyampaikan kebenaran tapi tidak berani mengucapkan benar.

"







Rasanya memang sulit secara gamblang "membenarkan" sesuatu.

Karena kebenaran di mata kita juga memiliki celah di mata orang lain.







-------------------------------------------------------------------------------------------------




Pancasila sebagai Sistem Filsafat sendiri-- sebagai dasar negara yang walaupun merupakan hasil pemikiran manusia namun setidaknya dianggap terbaik yang dapat menjadi penuntun negeri ini--

adalah dasar negara mampu mengkritisi PP dan kebijakan negara baik yang idealis (sesuai aturan/melihat kepada moral yang dianut negara) maupun yang pragmatis (melihat hanya sudut yang menguntungkan).







Was written in notes on my phone, so pardon my lack of everything that I shouldn't really blame anything.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UAS APLIKOM

Education vs Sport: Which one should be Our concern?